Stabilitas Keuangan Dimulai Dari Kebiasaan, Bukan Teori!

Halo, selamat datang kembali di BijakUang!
Pernahkah Anda merasa sudah memahami teori keuangan, tapi tetap saja uang ‘bocor’ sebelum akhir bulan? Mengapa ini terjadi? Karena kebiasaan yang konsisten jauh lebih berpengaruh daripada teori keuangan mana pun.

Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas langkah kecil pertama untuk memulai perjalanan finansial, yaitu mencatat pengeluaran. Jika Anda sudah mencobanya, selamat! Itu adalah langkah awal yang penting.

Kini, memasuki minggu kedua di awal tahun, mari melangkah lebih jauh. Setelah mencatat pengeluaran, bagaimana memanfaatkan data itu untuk membangun kebiasaan finansial yang sehat? Stabilitas keuangan bukan hanya soal punya uang banyak, tapi bagaimana Anda mengelola kebiasaan kecil agar kondisi keuangan Anda lebih terkendali.

Setelah membahas pentingnya kebiasaan, mari kita lihat lebih dekat definisi stabilitas keuangan itu sendiri.


Ilustrasi kebiasan kecil yang tumbuh menjadi stabilitas finansial

Apa sih Stabilitas Keuangan?

Stabilitas keuangan adalah kemampuan Anda untuk:

  • Memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa stres.
  • Menyiapkan dana untuk kebutuhan tak terduga.
  • Merencanakan masa depan dengan percaya diri.

Stabilitas bukan soal jumlah uang, tetapi bagaimana Anda mengelola uang. Bahkan dengan penghasilan sederhana, Anda bisa mencapai stabilitas jika memiliki kebiasaan yang tepat.


Kenapa Personal Finance Semakin Penting?

Dulu, mengelola uang terasa lebih sederhana. Sebagian besar pembayaran dilakukan dengan uang tunai, dan jumlah uang yang kita miliki terlihat langsung. Seperti yang pernah saya dengar dari Ligwina Hananto1 dalam sebuah kuliah umum: menarik uang tunai untuk kebutuhan satu minggu bisa membantu kita lebih sadar terhadap pengeluaran karena uang fisik terasa lebih “nyata.”

Namun, teknologi pembayaran seperti QRIS dan e-wallet kini mempermudah kita untuk membeli apa saja hanya dengan sekali klik. Tantangan barunya: pengeluaran menjadi tidak terasa dan sering kali tidak terkendali.

Di sinilah kebiasaan kecil menjadi kunci. Dengan kebiasaan sehat, Anda bisa menjaga stabilitas bahkan di era digital seperti sekarang.


Kebiasaan Adalah Kunci, Bukan Teori

Menurut Dave Ramsey2, keuangan pribadi itu 80% perilaku dan hanya 20% pengetahuan.  Artinya, kebiasaan kecil Anda lebih berpengaruh daripada segala teori canggih di luar sana.


Cerita Pribadi: Awal Mula Kebiasaan

Ketika kuliah, saya tahu konsep menabung. Saya belajar ekonomi dan keuangan di kampus, jadi teori tentang pentingnya menabung bukan hal baru bagi saya. Tapi kenyataannya? Saya nggak pernah menabung selama kuliah.

Uang bulanan dari orang tua selalu habis—kadang cukup, kadang kurang. Pemikiran saya saat itu sederhana: uang bulanan itu hak saya, jadi saya merasa wajar jika semuanya habis. Karena kebutuhan besar seperti kos sudah ditanggung terpisah, saya merasa keuangan saya cukup aman.

Namun, sekarang saya sadar bahwa cara pikir itu membuat saya kehilangan kesempatan untuk membangun kebiasaan baik. Saya mencatat pengeluaran, tetapi saya tidak memanfaatkan data itu untuk mengambil langkah lebih jauh, seperti menyisihkan sebagian uang untuk tabungan atau kebutuhan mendadak.

Ketika mulai bekerja di Jakarta, situasinya sedikit berubah. Saya mulai menerima gaji sendiri, tetapi uang kos masih disubsidi oleh orang tua. Gaji pertama saya yang tergolong UMR di tahun 2013 tidak cukup untuk menanggung biaya kos sendiri. Tapi, ada untungnya: kos saya hanya 10 menit jalan kaki ke kantor, jadi saya nggak perlu keluar uang untuk transportasi.

Walaupun uang kos masih disubsidi, saya mulai belajar mencukupkan gaji untuk kebutuhan sehari-hari. Dari sini, saya akhirnya sadar bahwa mengetahui teori keuangan saja tidak cukup. Kebiasaan kecil seperti mencatat pengeluaran, membatasi pengeluaran impulsif, dan menetapkan prioritas keuangan jauh lebih penting untuk membangun stabilitas keuangan.

Jika Anda merasa kebiasaan buruk di masa lalu membuat Anda kehilangan kesempatan, seperti yang saya alami, ingatlah bahwa perubahan selalu bisa dimulai dari sekarang.


Tips Menghindari Belanja Impulsif

Seperti yang telah saya sebutkan, mengetahui teori saja tidak cukup tanpa mempraktikan kebiasaan untuk berubah. Salah satu kebiasaan kecil yang bisa langsung Anda coba adalah mengelola belanja impulsif. Tips ini saya terapkan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Awalnya sulit, terutama ketika tergoda oleh promo, tetapi konsistensi memberikan hasil yang signifikan.

1. Gunakan Metode “Tunggu 24 Jam”

Jika Anda melihat promo menarik, jangan langsung checkout. Tunggu dulu 24 jam dan gunakan waktu ini untuk bertanya pada diri sendiri:

  • Apakah barang ini benar-benar saya butuhkan?
  • Apakah ada barang lain yang sudah saya miliki dan bisa digunakan sebagai alternatif?

Promo yang Anda lihat mungkin saja hangus dalam 24 jam, tetapi dengan menunda, Anda memberi diri sendiri ruang untuk berpikir lebih jernih dan mempertimbangkan apakah pembelian itu memang layak dilakukan. Saya sering menemukan bahwa barang yang awalnya terasa “harus dibeli” ternyata tidak benar-benar saya perlukan setelah saya menunggu dan merenung.

2. Tetapkan Anggaran Bulanan untuk Belanja Online

Tentukan batas anggaran untuk kebutuhan non-esensial seperti skincare, pakaian, atau barang hobi. Saya, misalnya, menetapkan anggaran sekitar Rp1.000.000 per bulan untuk belanja online, yang kemudian saya bagi ke beberapa kategori:

  • Rp500.000 untuk skincare.
  • Rp500.000 untuk barang lain seperti pakaian atau hiburan.

Dengan mencatat semua transaksi di aplikasi, saya memastikan pengeluaran tidak melebihi batas ini. Ketika belanja online mendekati batas bulanan, saya menunda pembelian lain hingga bulan berikutnya. Dengan cara ini, saya tetap bisa menikmati belanja online tanpa merasa khawatir akan keborosan.

Bagi yang berpenghasilan lebih kecil, nominal ini tentu saja bisa disesuaikan. Misalnya, Rp500.000 untuk semua kebutuhan non-esensial sudah cukup untuk memulai. Yang terpenting adalah memiliki batasan yang jelas agar pengeluaran tetap terkendali.

3. Batasi Saldo E-Wallet

Isi ulang saldo e-wallet Anda sesuai kebutuhan harian atau mingguan, tetapi pertimbangkan juga biaya administrasi yang mungkin dikenakan saat top-up. Untuk kebutuhan makan, saya biasanya mengisi Rp500.000 untuk dua minggu. Jumlah ini cukup untuk:

  • Makan di kantin: Target saya adalah makan siang dengan kisaran Rp25.000–Rp30.000 per hari.
  • Transportasi: Rp200.000 untuk perjalanan mingguan menggunakan ojek atau MRT.

Dengan cara ini, saya bisa tetap fleksibel menggunakan e-wallet tanpa tergoda untuk membelanjakan lebih dari yang diperlukan. Jika saldo habis sebelum jadwal isi ulang berikutnya, gunakan ini sebagai momen untuk mengevaluasi pengeluaran Anda.

4. Nonaktifkan Notifikasi Promo dari Aplikasi

Notifikasi seperti “Diskon 50% hanya hari ini!” sering kali menjadi pemicu utama belanja impulsif. Saya memilih untuk menonaktifkan notifikasi dari aplikasi e-commerce dan marketplace agar tidak tergoda membuka aplikasi hanya karena melihat promo menarik.

Hasilnya, saya lebih jarang mengecek aplikasi belanja tanpa alasan yang jelas. Ini membantu saya tetap fokus pada prioritas keuangan dan menghindari godaan untuk membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan.


Penutup: Kebiasaan Adalah Awal dari Stabilitas

Sudahkah Anda mempraktikkan kebiasaan mencatat pengeluaran yang kita bahas di artikel sebelumnya? Jika ya, selamat! Anda sudah mengambil langkah awal yang penting. Kini, saatnya melangkah lebih jauh: perhatikan pola pengeluaran tersebut dan mulai buat kebiasaan finansial yang lebih sehat.

Mengapa kebiasaan begitu penting? Karena perubahan terbesar dalam keuangan bukan terjadi saat kita hanya tahu teori, melainkan ketika kita mempraktikkan langkah-langkah sederhana secara konsisten. Dari mencatat setiap pengeluaran kecil hingga melatih diri menunda belanja impulsif, semua kebiasaan ini adalah pondasi untuk menjaga kestabilan uang Anda.

Tantangan Minggu Kedua: Refleksi Pola Pengeluaran
  1. Hari 1–3: Catat Semua Pengeluaran
    Termasuk pembelian impulsif. Apakah pembelian itu benar-benar diperlukan?
  2. Hari 4: Refleksi Pola Belanja
    Analisis catatan Anda. Apa kategori pengeluaran terbesar? Apa yang bisa dihemat?
  3. Hari 5–7: Terapkan Metode “Tunggu 24 Jam”
    Tunda pembelian yang tidak mendesak dan lihat apakah Anda masih merasa membutuhkannya.

Langkah-langkah kecil ini bukan sekadar rutinitas, melainkan pondasi untuk membangun stabilitas keuangan. Sama seperti mencatat pengeluaran, tantangan di atas akan membantu Anda lebih sadar akan prioritas dan kebiasaan belanja.

Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar atau media sosial. Apakah Anda berhasil mengurangi belanja impulsif? Apa saja pola pengeluaran yang paling menonjol? Dengan saling berbagi, kita bisa terus saling memotivasi dan belajar.

“Percayalah, kebiasaanlah yang pada akhirnya menentukan seberapa stabil kondisi keuangan kita, bukan sekadar teori.”

Di artikel selanjutnya, kita akan membahas cara memanfaatkan data pengeluaran untuk membuat anggaran yang mendukung tujuan finansial Anda. Siapkan catatan pengeluaran Anda, karena kita akan menggunakannya sebagai fondasi penyusunan anggaran.

Mulailah dari satu kebiasaan—dan rasakan perubahan positifnya dalam jangka panjang. Mari kita bangun kebiasaan yang benar hari ini, demi stabilitas keuangan di masa depan!

  1. Ligwina Hananto adalah seorang perencana keuangan independen dan pendiri QM Financial. Beliau aktif memberikan edukasi finansial di Indonesia, termasuk melalui blog di QM Financial. ↩︎
  2. Dave Ramsey adalah seorang perencana keuangan dan penulis terkenal asal Amerika. Salah satu pendekatannya yang paling populer adalah 7 Baby Steps, yang fokus pada membangun kebiasaan keuangan secara bertahap. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di DaveRamsey.com ↩︎

1 thought on “Stabilitas Keuangan Dimulai Dari Kebiasaan, Bukan Teori!”

  1. Pingback: Cita-Cita Uang Bagian 2: Membuat Anggaran Bulanan Pertama

Leave a Comment

Scroll to Top